“Seiring berjalannya proses hukum dari kepolisian. Setidaknya Kami berharap SPBN di pelabuhan ini dapat beroprasi lagi, karena bagaimana pun saat ini yang kasihan adalah nelayan,” ujarnya.
Di TPI, salah seorang nelayan asal Tanah Bumbu, Syamsuddin membeberkan agar terpenuhinya solar, sejumlah nelayan harus menyisir ke daerah lain untuk mendapatkan bahan bakar tersebut.
“Untuk mendapatkan lima sampai satu drum sekarang saja susah bagaimana kami mau melaut, coba seperti Banjarmasin yang pendistribusiannya lancar ke nelayan. Sempat mendapatkan bahan bakarnya dari Jawa,” cetusnya.
Terlebih, bahan bakar ini juga menjadi sumber utama kapalnya untuk memperlancar aktivitas melaut. Ini pun, menurut dia, solar menjadi keperluan vital berlayar nelayan.
“Solar mahal saja tidak dapat apalagi bersubsidi. Jadi, kapal yang hendak masuk melaut tidak bisa bersandar sebaliknya pula kapal luar untuk berlabuh ke PPI Batulicin. Bahkan, nelayan disini sudah sangat mengeluh,” bebernya.
Dari penertiban aparat kepolisian, kondisi SPBN di Pelabuhan Perikanan Batulicin cukup memprihatinkan bahkan masih dalam keadaan tersegel. Tak hanya itu, jangka waktu penutupan pengisian bahan bakar khusus bagi nelayan juga sudah berjalan satu bulan.
Sebelumnya diketahui, oknum dengan inisial AF ternyata kedapatan menjajakan solar bersubsidi diatas Harga Eceran Tertinggi (HET) dengan harga Rp6.250 per liter, padahal secara normal hanya dikenakan Rp5.150 artinya sengaja naik Rp1.100.
Atas perbuatannya, AF dijerat ancaman pidana pasal 55 UU RI Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perubahan UU RI Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) lengkap diganjar masa tahanan maksimal paling lama enam tahun, denda sebesar Rp60 miliar. [din]