Penulis : Redaksi

Banjarmasin, lenterabanua.com – Efek pandemi bagi perekonomian masyarakat, salah satunya disinyalir berdampak terhadap berkurangnya asupan gizi pada anak-anak mereka terutama anak balita.

Ditambah kebijakan relokasi anggaran dimungkinkan berpengaruh pada alokasi dana untuk kegiatan pencegahan stunting.

Pembatasan kegiatan masyarakat juga menyebabkan terhentinya layanan posyandu. Ada kekhawatiran pandemi Covid-19 akan menambah angka stunting baru.

Stunting atau kerdil adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai terutama dalam 1.000 hari pertama kehidupan, yaitu dari janin sampai anak berusia dua tahun.

Stunting berpotensi penyakit jantung dan rendahnya kemampuan belajar hingga akhirnya berakibat tidak optimalnya produktivitas dan hal ini tidak diinginkan dalam pembangunan manusia.

Pemerintah telah memberikan dukungan anggaran untuk pencegahan stunting sesuai dengan Permendesa Nomor 19/2017 tentang prioritas penggunaan Dana Desa 2018, disebutkan bahwa Dana Desa dapat digunakan untuk kegiatan penanganan stunting sesuai musyawarah desa.

Menyikapi itu, Wakil Ketua DPRD Kalsel, Muhammad Syaripuddin, Selasa (2/11/2021) di Banjarmasin, mengimbau agar desa dapat memanfaatkan dana desa untuk kepentingan penanggulangan stunting.

“20 persen dana desa untuk bidang kesehatan termasuk didalamnya Stunting, buat kegiatannya dengan serius. Dana desa tidak hanya sekadar untuk pembangunan infrastruktur. Desa harus berinovasi,” imbaunya.

Dukungan Kementerian Desa PDT dan Transmigrasi dalam upaya penurunan stunting antara lain melalui pengaktifan kegiatan-kegiatan yang bisa dilakukan oleh unsur desa.

Beberapa kegiatan tersebut seperti pembangunan/rehabilitasi poskesdes, polindes dan Posyandu, penyediaan makanan sehat untuk peningkatan gizi balita dan anak, perawatan kesehatan untuk ibu hamil dan menyusui.

Kemudian ada kegiatan pembangunan sanitasi dan air bersih, lantas melalui pengadaan insentif untuk kader kesehatan masyarakat, pembangunan rumah singgah, pengelolaan Balai Pengobatan Desa, pengadaan kebutuhan medis (makanan, obat-obatan, vitamin, dan lain-lain).

Kemudian sosialisasi dan edukasi gerakan hidup bersih dan sehat, serta melalui pengadaan ambulans desa yang bisa berupa mobil atau kapal motor di desa yang memiliki kawasan perairan.

Stunting itu masalah kompleks dan perlu penangangan sinergitas antara stake holder. Bidang kesehatan sudah pasti,” tandas legislator yang akrab disapa Bang Dhin ini.

Misal lainnya, lanjutnya, bidang pertanian, perikanan untuk ketahanan pangan, PUPR mengurus sanitasi perumahan, KB dan pemberdayaan perempuan bantu promosi 1000 HPK.

“Lantas bidang pendidikan juga harus bantu dalam hal kelas parenting, Kominfo kampenyekan isu stunting, dan lain sebagainya,” tegasnya.

Diketahui, sebutnya, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (riskesdas) tahun 2018, prevalensi stunting nasional 30,8 persen dan Kalsel tercatat 33,08 persen

“Prevalensi Kalsel lebih tinggi dari nasional, artinya kita dituntut untuk lebih ektra lagi. Jangan program sendiri-sendiri,” tukasnya.

Sehingga, harus dikomunikasikan, konsultasi dan koordinasikan sama-sama. Jangan nanti dilaporan kegiatan ditulis lemahnya komunikasi koordinasi.

“Apa-apaan itu, sudah kaya penyakit kronis saja. Tidak sembuh-sembuh penyakit SKPD,” pungkas Bang Dhin. ***

Advertisements