Kabupaten Banjar, LENTERABANUA.COM – Kota Martapura di Provinsi Kalimantan Selatan, memiliki Cahaya Bumi Selamat (CBS) yang menjadi pusat perbelanjaan permata terbesar di Asia Tenggara. Di sini juga dikenal sebagai daerah penghasil batu mulia termahal di dunia yaitu intan dari era Presiden Soekarno, atau kalau di Banjar, intan biasa disebut galuh.
Bagi masyarakat Banjar, suku asli Provinsi Kalimantan Selatan, yang benar-benar mengenal jenis batuan bernilai ekonomi tinggi ini, galuh tidak hanya sekadar benda keras yang memancarkan kilau cahaya pada saat diolah dan dibentuk menjadi sebuah perhiasan.
Bahkan batu ini sarat akan nilai magis, karena dipercayai merupakan jelmaan gaib sosok seorang putri. Galuh dalam bahasa Banjar memiliki arti, anak gadis.
Dianggap memiliki nilai magis dan jelmaan dari sosok gaib putri, maka sebelum memulai melakukan pencarian pendulangan intan yang biasanya dilakukan berkelompok, terlebih dahulu mereka melakukan ritual di lokasi pencarian. Dipercayai agar intan atau galuh berkumpul dan tidak menjauh.
Dalam proses pencariannya, para pendulang tradisional tidak boleh menyebut nama intan, wajib menggunakan sebutan galuh, karena menurut kepercayaan warga lokal khususnya pendulang, sosok galuh memiliki sifat pemalu dan mitosnya akan menjauh apabila ada yang menyebut nama intan dalam proses pencarian.
Mendulang galuh di Kota Berkilau sejak zaman dulu merupakan profesi utama bagi masyarakat lokal. Banyak dari mereka menggantungkan hidupnya dengan mencari batu berkilau bernilai tinggi ini.
Selain harga jualnya “setinggi langit”, peralatan yang digunakan untuk pendulang memang tergolong sederhana, hanya menggunakan sebuah piringan besar yang terbuat dari kayu. Namanya linggang.
Cara mencari galuh pun juga tergolong mudah, hanya dengan memasukkan sejengkal tanah berbatu ke dalam linggang, kemudian memutar-mutarnya di atas kudapan air. Sehingga, nantinya, tanah terpisah dengan batu intan.
Namun, kesulitannya adalah dalam mengenali intan dengan batu biasa, karena diperlukan keahlian dan pengalaman untuk dapat membedakannya.
Orang awam mungkin sangat sulit untuk mengenali intan atau galuh mentah, lantaran bentuknya sekilas sangat mirip dengan batu alam biasa.
Terlebih, pada zaman dulu hanya sebagian saja yang memiliki alat pendeteksi intan atau galuh yang canggih. Kebanyakan pendulang tradisional hanya bermodal keahlian dan pengalaman alias belajar secara autodidak untuk mengenali galuh dengan mata telanjang.
Lokasi pendulangan intan biasanya berada di bantaran sungai, karena dalam proses pemisahan dengan tanah masih menggunakan media air.
Pada saat menampung butir batu mulia yang diyakini sebagai intan, pendulang harus selalu menyebutnya dengan nama galuh, kemudian mengambil galuh untuk disimpan di dalam mulut, demi mendapatkan intan berukuran cukup besar, serta bernilai jual tinggi.
Kecamatan Aranio Jantung Pendulangan Intan
Lokasi pendulang intan yang terkenal dan masih aktif hingga saat ini adalah lokasi penggalian intan di Desa Pumpung, Kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru (sebelum pemekaran tahun 2001 masuk wilayah Kabupaten Banjar).
Di lokasi pendulangan intan ini terdapat sebuah monumen yang menandai pernah ditemukan intan terbesar di dunia, sebesar telur ayam kampung dengan berat sekitar 166,75 krat dan diberi nama intan Trisakti tahun 1965.
Intan Trisakti, menurut para ahli batu mulia, jika dinilai dengan rupiah saat itu berkisar Rp 10 triliun. Kemudian, intan ini disita pemerintahan era Soekarno dan hingga kini tidak diketahui lagi keberadaannya.
Selain lokasi pendulangan intan di Desa Pumpung, Kabupaten Banjar, ternyata di sini juga memiliki lokasi pendulangan galuh di kawasan Bendungan Riam Kanan, Kecamatan Aranio yang sebelumnya pernah memproduksi intan mentah, puluhan hingga ratusan butir intan dengan berbagai ukuran setiap harinya.
Yulian, salah satu mantan pendulang intan tradisional di kawasan ini menceritakan, di Waduk Riam Kanan pada saat musim kemarau tiba maka dapat dipastikan di sepanjang sungai bakal dipenuhi warga setempat yang berupaya mencari intan atau galuh dengan cara tradisional.
“Memang di sana dulu pada saat musim kemarau sungainya dijadikan lokasi pendulangan intan, awalnya hanya beberapa orang, tapi lama kelamaan jumlahnya sampai ratusan orang, hampir setengah kampung yang mendulang,” ujarnya.
Menurut Yuli, sapaannya, beberapa orang yang ikut mendulang mendapatkan hasil yang lumayan memuaskan. Sehingga, kabar tersebut tersiar ke kampung seberang, keesokan harinya warga yang mendulang pun bertambah banyak hingga sampai setengah kampung ikut nyemplung di sungai demi mendulang intan.
“Awalnya memang hanya beberapa orang saja yang mendulang, tapi setelah dapat hasil lumayan kabarnya pun membuat banyak warga ingin ikut mencoba peruntungan mendulang intan, hingga sampai setengah kampung dengan jumlah ratusan orang memadati sungai yang kering akibat kemarau,” kata dia.
Dia coba mengingat, setiap hari saat kegiatan pendulangan berlangsung, puluhan hingga ratusan butir intan mentah dia sempat saksikan dihasilkan di sana.
“Bahkan terakhir sempat ditemukan intan atau galuh mentah dengan berat 6,5 krat dan dijual oleh penemu intan tersebut dengan harga lebih dari seratus juta, itu sekitar tahun 2008,” ujarnya.
Sejak tahun 2008, nyaris tidak pernah lagi ada aktivitas pendulangan intan di sana, lantaran sungai tidak pernah lagi kering meski musim kemarau tiba.